Minggu, 25 November 2012

Emily: Gadis Cilik Di Balik Jendela Kaca

                Dari balik jendela kaca kamarku, aku dapat melihat gadis cilik itu dengan jelas. Gadis yang sebulan terakhir sering bermain di halaman rumahku. Gadis itu selalu mengenakan pakaian yang sama, terusan berwarna hijau dengan rok berlipit putih. Rasanya, sejak keluargaku pindah ke kota ini, aku tak pernah melihat gadis cilik itu. Entahlah, mungkin gadis itu baru pindah ke kota ini.
                Gadis itu, setiap senja, selalu bermain sendiri di halaman depan rumahku. Bahkan, ia dapat bermain hingga malam hari. Aneh sekali, kemana orang tuanya? Mengapa mereka membiarkan putri kecilnya bermain sendiri di malam hari? Bukankah itu berbahaya? Ketika aku menemui Boby untuk bermain sepak bola  di taman, aku menemukan banyak gadis cilik bermain disana. Namun aku tak menemukan si gadis kecil yang selalu bermain di halaman rumahku itu.
                Hari ini, aku bermaksud untuk menghampiri gadis cilik itu. Mungkin saja ia tinggal tidak jauh dari kompleks rumahku, sehingga aku dapat mengantarnya pulang. Dari balik jendela kaca, aku menunggu kehadiran gadis cilik yang tak kutahu namanya itu. Oh, mungkin nanti aku dapat menanyakan namanya.
                Benar saja, gadis itu muncul. Tanpa basa-basi lagi, aku segera menghambur keluar menuju halaman depan rumah. Namun apa yang kudapat? Hanya lapangan kosong dengan rerumputan yang digoyang oleh desiran angin yang cukup kuat. Aneh, kemana gadis itu? Tidak mungkin ia dapat berlari keluar dari halamanku yang luas dalam waktu setengah menit. Ya, aku memang seorang pelari hebat di kota ini, tapi tak mungkin gadis itu dapat berlari lebih cepat dariku.
                Esoknya, gadis cilik itu muncul kembali. Ia melambai-lambaikan tangan padaku, seakan mengajakku untuk bermain dengannya. Berarti, kemarin ia telah melihatku. Mungkin kemarin ia hanya bersembunyi di balik semak-semak untuk menggodaku.
                Aku segera turun dan kali ini aku menemui gadis itu. Ya, kini ia benar-benar berdiri di hadapanku. Kedua tangannya ia lipat ke belakang, dengan kepala tertunduk dan kaki sebelah kanannya yang menggesek-gesek tanah di  bawahnya.
                “Siapa namamu?” Tanyaku.
                Gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum simpul padaku. “Namaku... Aku adalah Emily!” Gadis cilik itu menjawab dengan riangnya. Tapi aku tak dapat menghilangkan perasaan aneh ketika pertama kali bertemu gadis cilik itu. Ya, gadis itu terlalu aneh.
                “Berapa umurmu? Kenapa kau bermain disini sendirian? Dimana orang tuamu?”
                “Kakak terlalu cerewet, masa aku tidak boleh bermain disini?” Ia mengerucutkan bibirnya, terlihat kesal pada sikapku.
                “Bukan... bukan tidak boleh, Emily, tapi ini sudah senja. Sebentar lagi malam akan datang...”
                “Lalu?”
                “Kau harus segera pulang, seorang gadis cilik bermain sendirian di malam hari sangat berbahaya. Kakak akan mengantarmu.”
                Oh, kali ini Emily benar-benar merasa kesal padaku. Ia menghentakkan kakinya ke tanah. “Tidak perlu! Aku akan pulang sendiri!” Ia kemudian berlari keluar dari halaman rumahku. Aku segera mengejarnya, sempat kulihat punggungnya sebelum ia menghilang di belokan dekat toko loak.
===
                “Apa selama kita tinggal disini, ibu tahu sebuah keluarga yang tidak merawat putrinya dengan baik sehingga mereka tak peduli jika putrinya bermain sendirian di malam hari?” Tanyaku sambil mencomot sebuah kue dari meja makan.
                “Setahu ibu, tidak ada yang seperti itu. Nyonya Anna yang memiliki seorang putri berumur 9 tahun juga tak pernah membiarkan putrinya bermain sendirian pada malam hari.”
                “Siapa nama putrinya?”
                “Clara.. Clara Paulline.” Jawab ibuku. Sepertinya ibu merasa aneh dengan pertanyan yang kuajukan padanya. Ia menatapku dengan mimik serius, seakan berkata untuk-apa-menanyakan-hal-yang-tidak-penting-pada-ibu-yang-sedang-sibuk.
                “David! David!” Tiba-tiba, pintu depan diketuk oleh seseorang yang secara tak sopan berteriak memanggil namaku. Pastilah itu Boby. Kulihat ibuku memukul-mukul kepalanya dengan sangat kesal, dan dengan tatapan mengintimidasi memaksaku untuk segera enyah membawa si pengganggu, Boby, sejauh mungkin.
                “Hei! Besok pertandingan dimulai! Hari ini SMA kita harus berlatih sampai malam.” Ucap Boby beberapa saat setelah kubuka pintu. Aku terbelalak. Oh, aku yakin besok kakiku tidak dapat digerakkan akibat latihan hari ini.
                Di tengah perjalanan menuju taman, tanpa sengaja aku menangkap sosok Emily yang sedang berjalan sendiri dengan kepala tertunduk. Kali ini, gadis cilik itu membawa boneka beruang berwarna coklat yang cukup besar.
                “Kau duluan saja, aku ada urusan sebentar. Aku akan segera menyusul!” Aku meninggalkan Boby yang heran melihat sikapku. Diam-diam, aku mengikuti kemana Emily pergi. Aku terus membuntutinya hingga kami tiba di depan rumahku sendiri. Benar juga, seharusnya aku tahu bahwa gadis itu akan bermain di halaman rumahku lagi.
Aku menunggu gadis itu bermain sendiri hingga merasa bosan. Kemudian, ketika ia memutuskan untuk pulang, aku kembali mengekor di belakangnya. Tepat seperti dugaanku, ketika tiba di belokan dekat toko loak, ia mengambil jalan ke kanan. Aku terus mengikutinya hingga ia berhenti di hadapan sebuah bangunan besar di sudut jalan. Ah, mungkinkah ini rumahnya? Keluarganya mungkin sebuah keluarga berada yang terlalu sibuk bekerja sehingga menelantarkan putrinya.
“Oi! Kau sedang apa disini?” Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh, dan mendapati Boby tengah mendelik kepadaku. Bagaimana ia bisa tahu aku sedang disini? Jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, ia juga sedang membuntutiku.
Ketika aku menoleh kembali untuk melihat Emily, gadis itu telah menghilang. Ah, mungkin ia sudah masuk ke dalam rumahnya. Kalau begitu, aku akan mencari tahu keluarga yang menghuni rumah ini esok hari.
===
Setelah pertandingan sepak bola berakhir, aku memutuskan untuk kembali pergi ke rumah besar itu. Mungkin kali ini aku harus mengajak Boby, bagaimanapun juga ia tidak suka aku menyembunyikan sesuatu darinya.
Entah mengapa aku ingin menyelidiki tentang Emily. Tak ada yang spesial dari gadis cilik itu, hanya saja aku melihat sesuatu yang berbeda dari sorot matanya ketika ia menatapku waktu itu. Meski ia tersenyum dan tertawa dengan riangnya, kedua bola matanya tak dapat menyembunyikan sebuah kejanggalan. Bila harus kesebut, sebuah gelagat yang tak biasa.
“Oh! Luar biasa! SMA kita memenangkan pertandingan ini!” Sam, kapten tim kami, berjingkrak-jingkrak seusai pertandingan sepak bola. Ya, tim kami memengkan pertandingan pada babak semifinal, itu berarti kami akan segera menyambut partai final.
“Boby, ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Ucapku secara diam-diam dan menarik Boby menjauh dari kerumunan tim dan sorak sorai penonton.
“Oh, ada apa ini? Baru kali ini aku melihatmu serius, David.”
Aku menelan ludah dan mulai bercerita pada Boby. “Sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa penasaran pada seorang gadis cilik yang sering bermain di halaman rumahku. Gadis itu, bagaimana aku mengatakannya... emm... gadis itu menurutku sangat aneh....”
“Aneh? Apa yang aneh?” Aku segera menceritakan pada Boby bahwa gadis itu selalu bermain sendiri di senja hari dan bagaimana aku bertemu dengan gadis cilik itu pertama kali.
“Kalau begitu, kita memang harus segera menyelidikinya.” Seru Boby dengan semangat.
===
Aku menunjukkan bangunan besar di sudut belokan itu pada Boby. Seketika, ia terkejut dan dengan mimik tak percaya ia mencengkeram tanganku.
“Apa kau berpikir seorang gadis cilik akan tinggal di panti jompo yang akan segera dirobohkan?” Tanya Boby seraya menunjuk bangunan besar itu. Aku terbelalak, sama terkejutnya dengan Boby. Kami segera masuk ke dalam dan mencari informasi tentang keberadaan Emily, namun tak ada tanda bahwa Emily pernah tinggal disana. Bahkan resepsionis pun tak memiliki data tentang gadis cilik bernama Emily.
“Mungkin Emily itu sejenis makhluk astral?” Ucap Boby ketika kami duduk di sofa di ruang tunggu panti jompo itu.
“Jangan sok tahu!” Aku menjitak kepala Boby, dan ia hanya meringis seraya memegangi kepalanya.
“Emily? Kalian bilang Emily?” Seorang pria, yang kuyakini adalah salah satu perawat di panti  jompo itu, menatap kami dengan tatapan tak percaya.
“Yang kami maksud adalah seorang gadis cilik bernama Emily, berambut kecoklatan sebahu dengan bola mata berwarna kecoklatan pula. Apa anda mengenalnya?”
“Ya... Emily adalah gadis yang pernah saya sukai, secara sepihak.”
Mata Boby menyipit, ia menatap pria itu lekat.
“Anda... menyukai gadis cilik?” Tanya Boby penasaran. Ah, benar juga, mana mungkin pria berusia tiga puluhan tahun ini menyukai seorang gadis cilik berusia sekitar sembilan tahun? Pasti saat ini Boby berpikir bahwa pemuda yang berada dihadapannya itu adalah seorang pedhopill.
“Maksud saya, itu 20 tahun lalu. Ketika saya masih seumuran dengan Emily.” Jawabnya dengan suara tergetar. Oh, kini aku semakin tak mengerti. Dua puluh tahun lalu, seharusnya Emily belum dilahirkan bukan?
“Anda tidak perlu bercanda dengan kami!” Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, Boby telah lebih dulu mengambil ancang-ancang dan membentak si pria.
“Saya sungguh tidak bohong. Emily adalah sahabat saya semasa kecil.” Air mata mulai mebasahi pipi pria itu. Ia menggigit punggung tangannya sebelum mulai melanjutkan cerita. “Kami teman sangat dekat, mungkin seperti kalian ini. Kami selalu bermain bersama. Panti jompo ini, dulunya adalah rumah milik keluarga Emily, sebelum peristiwa itu mengubah semuanya...”
“Peristiwa apa?” Tanyaku penasaran.
“Waktu itu, sebuah kebakaran hebat terjadi dan menghanguskan rumah Emily hingga benar-benar hangus tak bersisa. Ketika itu, kedua orang tuanya sedang bekerja dan mereka meninggalkan Emily sendiri di rumahnya. Ia tak terselamatkan. Padahal, beberapa menit sebelum kebakaran itu terjadi, saya sempat menemui Emily, mengajaknya bermain di taman,” pria itu menunduk seraya terisak, dan melanjutkan. “Lalu kedua orang tuanya merasa sangat bersalah dan memutuskan untuk pindah ke kota lain. Mereka menyumbangkan tanahnya kepada pemerintah.”
“David...” Boby kembali mencengkeram tanganku. “Benar kan apa yang aku katakan? Emily itu adalah makhluk astral. Jadi, yang selama ini kau lihat dan kau buntuti adalah... hantu...”
“A-apa? Kalian melihatnya? Jangan bercanda! Emily telah meninggal 20 tahun lalu!”
Aku menelan ludah dan mengangguk cepat. Seakan waktu terhenti, sepanjang pembicaraan ini, tak ada satupun manusia yang berlalu lalang di hadapan kami. Ya, hanya ada kami bertiga saat itu.
“Ngomong-ngomong, siapa nama anda?” Tanyaku.
Pria itu mendongakkan wajahnya, berusaha menatap kami. Ia menyeka air matanya. Kemudian ia tersenyum simpul, senyum yang sama seperti senyum milik Emily. “Saya adalah Josh... Josh Williams.”
===
“Ini mustahil David! Lihatlah ini!” Boby menunjukkan artikel pada sebuah surat kabar yang baru saja terbit. Kubaca judul yang terpampang dengan sangat jelas disana, “Seorang pembunuh dieksekusi mati minggu lalu.”
“Ada apa dengan itu?” Aku menuangkan teh hangat dari sebuah poci perak ke cangkir teh milikku dan milik Boby. Aku menyesap tehku perlahan, seraya memperhatikan Boby yang sedang berkacak pinggang melihatku kesal. Aku tertawa.
“Jangan tertawa!” Ia melemparkan surat kabar itu padaku. “Baca itu! Kau tak akan bisa tertawa lagi.”
Aku membaca artikel itu secara seksama. Betapa terkejutnya aku ketika melihat foto yang terpampang disana. “Josh Williams, seorang pembunuh yang telah memakan puluhan korban dieksekusi mati minggu lalu.” Aku menelan ludah, menatap Boby tak percaya. Ia hanya menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya.
“Apa kau masih bisa tertawa, eh?” Kini ia yang tertawa.
“Bukankah baru kemarin kita berbincang dengan Josh Williams itu? Berarti... yang kita ajak bicara kemarin adalah... hantu?” Saat ini, aku benar-benar merasa ketakutan. Aku berjalan perlahan menuju jendela kaca kamarku, sehingga aku dapat melihat pemandangan halaman rumahku dengan jelas. Setidaknya, dengan begitu, aku dapat menenangkan diriku sedikit.
“David, jika benar begitu, apa mungkin semua yang dikatakan hantu Josh Williams waktu itu adalah kebohongan?” Tanya Boby. Ia mendekat dan merangkul bahuku.
“Tapi, jika itu semua bohong... lalu siapa sebenarnya gadis cilik yang berdiri disana itu? Dan mengapa setiap petang ia bermain di halaman rumahku?” Aku menunjuk sesosok gadis cilik yang berdiri di halaman depan rumahku. Masih dengan pakaian yang sama, terusan berwarna hijau dan rok berlipit putih. Ia menatap kami dengan senyum yang menyeringai dan wajah yang jauh lebih pucat dari biasanya.
TAMAT

The Eternal Voice (Thriller Oneshoot)

               “To-tolong.... Jangan bunuh aku...” Pria tua itu melangkah mundur perlahan-lahan dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan, menahanku agar tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun, nafsu liarku sudah tak dapat kutahan. Ia terus melangkah mundur hingga tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu, ia jatuh ke belakang. Bagus.
                Pria yang ketakutan itu merangkak mundur, sementara aku terus mendekatinya. Sedikit saja ada kesempatan, aku berusaha untuk menancapkan mata pedangku ini pada tubuhnya.
Berhasil! Aku berhasil menusuk betis kanannya. Sekarang ia mengerang kesakitan. Kemudian, aku menarik pedangku yang kini telah bersimbah darah segar miliknya. Kujilati darah yang menggiurkan itu. Malam ini aku benar-benar seperti vampire yang haus darah.
                Jangan hentikan Anthony. Orang itu berbahaya, dia ingin membunuhmu. Habisi dia Anthony! Habisi!
Suara dari alam bawah sadar itu bagaikan sebuah perintah tersendiri bagiku. Aku harus membunuhnya. Ya, aku harus membunuh orang yang berbahaya ini.
                Pria tua itu masih menyeret-nyeret kaki kanannya yang kini bersimbah darah, berusaha menyelamatkan diri. Namun terlambat, dia terpojok disudut ruangan. Kudekati pria tua yang ketakutan itu perlahan-lahan, kemudian berjongkok tepat dihadapannya. Kujilati sekali lagi darah segar yang tersisa di pedangku. Setelah itu kuangkat pedangku tinggi-tinggi, kemudian menghujamkannya tanpa ampun pada tubuhnya.
===
                Aku terbangun dari tidurku. Mataku merah. Semalam, aku memang tidur dengan tidak nyenyak. Lagi-lagi mimpi itu kembali menghantui malamku. Mimpi mengerikan, dimana aku selalu berperan sebagai seorang pembunuh berdarah dingin. Anehnya, semua yang kubunuh dalam mimpiku adalah orang-orang dekatku. Dan semua itu menjadi kenyataan. Satu persatu mereka tewas dengan sangat tragis, tanpa kutahu sebabnya. Dan tadi malam, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo dengan kejam.
                “Tuan muda Anthony...” Seorang wanita setengah baya dengan pakaian maid yang telah kusut mengintip dari celah pintu kamarku yang sedikit terbuka.
                “Masuklah...” Perintahku seraya berdiri dan meregangkan otot-ototku. Wanita yang membawa nampan berisi pancake itu segera meletakkan nampannya di sebuah meja di sudut kamarku. Ia bertingkah seperti orang panik yang sedang berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah pelik. Ia memandangku dengan was-was.
                “Ada apa?” Tanyaku yang mulai tidak menyukai caranya menatapku.
                “Tu-tuan muda... itu... Tuan Ricardo, dia... tewas.” Ucap wanita itu terbata-bata dengan suara yang melemah pada bagian akhir kalimat. Terang saja, aku langsung terkejut mendengar ucapannya barusan, walau sesungguhnya aku telah menduga hal ini akan terjadi sebelumnya.
                “Paman!” Aku segera menghambur menuju ruang makan, tempat yang kuyakini sebagai tempat terbunuhnya pamanku. Ya, aku bermimpi membunuh Paman Ricardo di ruang makan keluarga.
                Dan benar saja, kutemukan Paman Ricardo dalam keadaan sudah tak bernyawa. Tubuhnya bersimbah darah, penuh tusukan disana-sini. Dan... astaga! Sebuah luka tusukan di perut bagian bawahnya mengingatkanku pada mimpiku semalam. Salah satu bagian yang kuingat dalam mimpiku, bahwa aku menusuk Paman Ricardo di perut bagian bawah.
                “Anthony...” Diantara kerumunan orang, seorang gadis berambut ikal panjang yang sedang menangis berlari mendekat, kemudian memelukku. Kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. Ialah Natasha, tunanganku sekaligus putri angkat Paman Ricardo. Tentunya ia sangat terpukul dengan kematian tragis ayah angkatnya, begitu pula denganku.
                “Tuan Anthony, saya William Joseph dari kejaksaan. Saya dengar salah seorang pelayan semalam melihat anda ada di ruangan ini dengan pakaian tidur yang bersimbah darah. Apakah hal itu benar tuan?” Tanya seorang lelaki berambut pirang secara tiba-tiba  padaku.
                “Saya tidak tahu Jaksa William. Semalam saya tidur di kamar saya. Tetapi...”
                “Tetapi apa?”
                “Tetapi semalam saya bermimpi aneh. Saya bermimpi bahwa sayalah yang membunuh Paman Ricardo. Saya menusuknya dengan sangat kejam menggunakan pedang turun-temurun keluarga kerajaan.” Ucapku seraya menunjuk sebuah kotak kaca tempat dimana pedang legendaris itu disimpan. Betapa terkejutnya aku, pedang itu kini sudah tak ada ditempatnya.
                “Maksud anda pedang yang inikah?” Jaksa itu kemudian menyerahkan sebuah pedang yang telah bersimbah darah padaku. Sepintas, aku mengira pedang itu adalah pedang biasa. Namun, setelah kuperhatikan kembali gagang pedang itu, barulah aku sadar bahwa itu adalah pedang legendaris kami.
                “Ba-bagaimana bisa?”
                “Kami menemukan pedang ini ada di dekat korban. Kemungkinan besar pedang inilah yang digunakan pelaku untuk membunuh korban. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terima kasih atas kerjasamanya. Maaf kami telah lancang mengganggu keluarga kerajaan.” Jaksa William beserta para pengawalnya membungkukkan badan, kemudian berlalu pergi.
===
                Kembali aku terbayang-bayang dengan peristiwa kematian Paman Ricardo yang tragis. Memang bukan baru kali ini saja hal aneh seperti ini terjadi. Sebelum ini aku pernah bermimpi membunuh ayah, nenek, serta kakekku sendiri. Dan semua itu benar-benar terjadi. Mereka semua tewas, persis seperti apa yang ada dalam mimpiku.
                Aku yakin, malam ini pun aku pasti akan kembali bermimpi membunuh salah satu orang dekatku. Maka, aku pun mencoba untuk tetap terjaga dari tidurku. Namun, baru sepuluh menit berlalu, rasa kantuk secara tiba-tiba mulai menyerangku.
                Tidak! Aku tidak boleh tertidur! Malam ini aku harus terjaga. Aku harus memastikan bahwa bukan aku yang membunuh mereka. Tidak mungkin aku membunuh mereka. Ya, tidak mungkin!
                Anthony... Anthony...
                Sebuah suara bisikkan mengerikan menggaung tepat di dekat daun telingaku. Betapa terkejutnya aku. Kulihat sekeliling kamarku, memperhatikan setiap detil sudutnya. Nihil. Tak ada siapapun disana, bahkan dibawah meja maupun dibalik lemari pakaianku yang terbuat dari kaca.
                Anthony... Anthony...
                Suara serak parau itu kembali terdengar. Namun kali ini lebih jelas, memenuhi seluruh ruangan. Kembali kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Namun hasil nihil pun kembali kudapat. Dengan ketakutan, kuraih sebuah pisau yang kusembunyikan dibalik bantalku. Dengan posisi siaga, aku bangkit dari ranjangku.
                “Si-siapa kau? Apa kau yang membunuh mereka?” Tanyaku dengan penuh ketakutan. Hening sesaat.
                Ya... akulah yang melakukan itu. Aku melakukannya demi kau, Anthony. Aku akan selalu melindungimu dari anak-anak nakal itu.
                Suara itu semakin jelas terdengar. Sekarang jantungku sudah tak dapat diajak berkompromi lagi. Aku menelan ludah dan kembali bertanya pada suara itu.
                “Apa yang kau maksud? Keluar kau! Tunjukkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?”
                Mari kita bermain bersama Anthony...
                Hembusan angin dingin tiba-tiba merayap di tengkukku. Kepulan kabut yang cukup tebal secara tiba-tiba memenuhi kamarku. Sesaat, aku melihat seorang bocah laki-laki berumur sekitar 12 tahun tersenyum menyeringai kepadaku di balik kabut.
Siapa dia? Tunggu... sepertinya aku mengenalinya.
                “Uhukk...” Kabut ini membuat dadaku sesak, aku terbatuk. Dengan sisa tenagaku, aku mencoba untuk berjalan kearah pintu. Sungguh lemah tubuhku. Aku hanya dapat tertatih perlahan menuju satu-satunya pintu penyelamatku.
                Bocah laki-laki itu kini berdiri tepat dihadapanku. Senyumnya menyeringai, dengan mata merah menyala. Kulitnya putih pucat. Ia menjulurkan tangannya kepadaku, seakan ingin menolongku. Namun, segera kutepis uluran tangannya itu dan kembali merangkak menuju pintu. Ia kembali menghadangku.
                Kau kenapa Anthony? Kau jatuh? Siapa yang mendorongmu? Biar kuberi pelajaran dia yang telah mendorongmu itu.
                Sosok bocah laki-laki itu menghilang di dalam kabut yang begitu pekat. Bersamaan dengan itu, aku merasa kesadaranku semakin menghilang. Namun, kucoba untuk tetap terjaga. Dan secara tiba-tiba pula, entah mengapa, aku dapat berdiri dengan tegak dan berjalan menuju pintu. Bahkan tanganku kini memutar-mutar kenop pintu, mencoba membukanya. Aneh sekali, padahal aku merasa bahwa tenagaku sangat lemah dengan kesadaran yang juga semakin menghilang.
                Tunggu dulu... ini bukan aku. Ya, yang sedang menggerakan tubuhku bukanlah diriku sendiri. Semua yang saat ini kulakukan berada diluar kendali naluri dan keinginan nuraniku. Apa yang terjadi padaku? Sekarang, dengan kesadaran yang masih tersisa, aku mendapati diriku sendiri berjalan keluar melalui lorong-lorong gelap rumahku.
                Aku melangkah perlahan menuju sebuah kamar dengan pintu yang dihiasi permata berwarna biru safir. Kamar ini... kamar ini adalah kamar Nathasha. Apa yang akan dilakukan oleh diriku yang tengah digerakkan orang lain ini?
                Perlahan tapi pasti, aku mendekati Natasha yang tengah tertidur dengan pulas di ranjangnya. Oh, sungguh aku tidak ingin membangunkan bidadariku saat ia tengah tertidur damai. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak, jangan lukai Natasha! Aku mencintainya. Siapapun yang saat ini mengendalikan tubuhku, jangan lukai gadis itu! Kumohon.
                Tanpa kusadari lagi, tanganku yang membawa sebilah pisau terangkat tinggi-tinggi, tepat diatas dada Natasha. Apa yang dapat kulakukan? Aku tak ada daya untuk menghalangi makhluk yang sedang berdiam dalam tubuhku ini. Dalam hati, aku hanya dapat menangis. Dan, dengan cepat, tanganku menghujamkan mata pisau itu secara keji pada tubuh gadis yang sangat kucintai.
===
                Aku membunuhnya. Aku membunuh kekasihku sendiri. Betapa menyesalnya aku. Seharian, yang dapat kulakukan hanya merutuki diriku sendiri dan menghindari dunia luar. Nafsu makanku menghilang begitu saja. Aku tidak tertarik lagi untuk hidup di dunia ini tanpa orang-orang yang aku kasihi. Aku telah kehilangan semuanya. Kehilangan ayah, nenek, kakek, Paman Ricardo, dan sekarang Natasha pun pergi meninggalkanku.
                “Tuan Muda Anthony... keluarlah. Keluarga Tuan telah menanti kehadiran Tuan Muda. Jasad Nona Natasha akan dimakamkan sebentar lagi.” Seorang maid memanggilku dari balik pintu.
                “Anthony, keluarlah. Jangan egois! Bukankah kau sangat mencintai gadis itu? Maka keluarlah sekarang. Setidaknya, kau harus hadir disaat terakhirnya akan dimakamkan.” Itu suara ibu. Ibu? Mengapa ia datang kemari setelah 10 tahun tidak bersua? Untuk apa ia datang sekarang? Ia telah mencampakkanku dan ayah. Ia bahkan dulu menentang hubunganku dengan Natasha dan berusaha membunuh gadis itu. Aku benci ibu.
                “Tuan Muda Anthony, kami mohon. Jika tidak, maka Nyonya akan mengirim Tuan Muda Henry ke Berlin.” Mengirim Henry, adikku, pergi? Apa yang ada di benak nenek sihir itu? Selama ini ia tidak pernah menengokku, bahkan aku sudah lupa bahwa aku memiliki seorang ibu. Hanya ayah dan Henry yang setia menemaniku. Mengapa sekarang ia ingin membawanya pergi? Uh! Jika bukan karena ancaman itu, maka aku tidak akan menuruti perintahnya.
===
                Angin sepoi berhembus mengusap lembut rambutku yang pirang. Aku hanya dapat mematung menatap peti berisi jasad gadis yang sangat kucintai diturunkan ke dalam liang lahat. Ingin rasanya aku menangis, namun aku mencoba untuk lebiih tegar menerima ini semua. Terkadang, ingin aku membunuh diriku sendiri agar tanganku yang kotor ini tak lagi membunuh orang-orang yang kucintai.
                “Walau kau datang ke upacara pemakaman, tidak akan ada yang berubah. Ibu akan tetap mengirim Henry ke Berlin. Ia akan menyelesaikan studinya disana.” Ucap ibuku. Aku tahu itu. Sejak dulu ibu memang seorang pembohong. Namun, Henry memang sebaiknya berada jauh dariku. Aku sangat berbahaya, aku dapat membunuhnya sewaktu-waktu.
                “Setelah kehilangan kakakmu, ibu tidak ingin kehilangan kalian lagi.” Ucap ibuku. Ah, bahkan aku lupa aku pernah memiliki seorang kakak. Kakak laki-laki yang telah meninggal 10 tahun lalu.
Dahulu, hubunganku dengan kakakku jauh lebih dekat daripada hubunganku dengan Henry. Kami selalu bermain bersama dan ia selalu menjagaku dari anak-anak nakal yang sangat suka menjahiliku karena menganggapku seperti anak perempuan. Ketika aku menangis, kakak selalu dapat menenangkanku.
                Sejak kepergian kakak, aku berusaha untuk melupakan segala kenangan masa kecil itu. Aku tahu bahwa kakak sangat menyayangiku, namun aku tidak sanggup menyakiti batinku sendiri dengan mengingat kepingan-kepingan cerita masa laluku. Aku ingat ketika kakak didera sakit yang tak mungkin dapat disembuhkan, ia berkata bahwa ia akan tetap menjagaku dari atas, dan aku mempercayai itu.
                Sekilas, terlintas di benakku untuk berziarah ke makam kakak. Beserta dengan seorang maid yang bertugas menjagaku, aku memisahkan diri dari kerumunan pelayat dan mulai berjalan sendiri menuju sebuah nisan yang terbuat dari batu pualam putih.
                Disini terbaring dengan tenang
                Arthur James Buttington
                12 Desember 1854
                Nama yang sangat kurindukan terukir indah diatas batu nisan itu. Wajah bocah laki-laki yang sedang tertawa pun terpahat dengan rapi di atas batu nisan itu. Ah, wajah kakakku, wajah yang amat kurindukan.
                Kuusap lembut patung ini, memperhatikan setiap detailnya. Patung ini membawa ingatanku kembali pada masa lalu, 10 tahun lalu, ketika kami masih sering bermain bersama. Aku teringat wajahnya, teringat senyumnya, dan teringat dengan suara seraknya.
Tunggu dulu... wajah ini...
                Anthony... Anthony...
                Ah! Suara itu lagi! Kini suara itu terdengar menggema dimana-mana. Pandanganku kabur, dadaku sakit. Tenagaku terasa menghilang begitu saja. Tiba-tiba, rasa pening yang amat luar biasa membuatku melenguh kesakitan dan jatuh tak berdaya.
                “Tu-tuan Muda? Tuan Muda! Tolong!” Kudengar maid itu berteriak meminta tolong seraya mengguncang-guncang tubuhku. Aku pun masih sempat melihat ibu bersama rombongan pelayat lainnya berlari ke arahku. Dan setelah itu, semua menjadi gelap gulita.
===
                Anthony... Anthony...
                Suara serak itu masih saja memenuhi isi kepalaku. Berdengung sangat merdu, sekalipun kututup gendang telingaku rapat-rapat. Suara itu semakin menjadi-jadi, menginvasi alam bawah sadarku. Aku tidak bisa, aku tidak tahan lagi.
                “Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh!!!” Aku berteriak sekuat tenaga, berusaha mengungguli suara serak aneh itu. Aku menangis, dan jatuh berlutut. Apa aku telah menjadi gila? Siapa kau? Siapa kau yang selalu membisikkan kata-kata aneh itu? Apakah kau yang selama ini menggunakan tubuhku untuk membunuh mereka? Kenapa kau mengendalikanku? Kenapa?
                Aku menangis, dan hanya dapat menangis. Kemudian, entah mengapa,  suara itu berubah menjadi sangat lembut. Lembut, lembut sekali. Suara yang sangat kurindukan selama 10 tahun ini.
                Tenang saja Anthony, aku akan melindungimu. Kau masih ingat pada janjku bukan? Aku akan melindungimu dari sini. Hanya aku saja yang dapat melindungimu. Ya, hanya aku...
=TAMAT=

Sabtu, 21 Juli 2012

IT IS NOT ONLY A NIGHTMARE

                Aku berdiri terpaku di depan jendela kamarku yang terbuka lebar. Semilir angin malam yang membelai pucuk-pucuk rambutku tak kuhiraukan. Kuperhatikan pemandangan indah di bawah naungan cahaya sang rembulan malam ini. Pantai yang terkikis air laut, nyiur yang melambai, serta deburan ombak adalah klise pemandangan yang tergambar dibalik jendela kamarku.
                “Alfred, turun nak! Ayo bantu-bantu!” Terdengar suara Mamaku memanggilku dari bawah. Aku segera keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang bawah, tanpa menutup jendela kamarku terlebih dahulu.
                Yep! Aku dan keluargaku baru saja pindah ke Kota Tua Pevensie, sebuah kota kecil indah yang terletak di kaki bukit Oz. Beruntungnya kami, karena kami memperoleh sebuah rumah yang nyaman dan terletak di dekat pantai. Itulah sebabnya aku dapat melihat pantai dan laut dari jendela kamarku.
                “Alfred, kamu bantu kakakmu beres-beres di kamar belakang.” Ujar Papaku. Aku hanya mengangguk dan berlari menuju kamar belakang yang dimaksud oleh Papaku. Sebuah kamar berbau amis yang menyengat, dengan suasana gelap dan menyeramkan.
Kamar ini memang tidak akan dipakai untuk tidur oleh anggota keluargaku. Maka Alex, yang kurasa mungkin sudah tidak waras, bermaksud untuk menjadikan kamar belakang itu sebagai tempat melakukan eksperimen-eksperimen gilanya.
“Hei Alex! Masih sudi kamu melakukan hal-hal gila begitu?” Yep! Alex adalah nama kakakku yang tidak waras itu. Huh, aku tak akan sudi memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Yang benar saja, bahkan sikapku jauh lebih dewasa daripada dia.
“Hei, mau bantu nggak sih kamu? Ayo sini, bantu!” Dia menarik tanganku dengan kasar dan memberikan sebuah sapu ijuk padaku. Sial, lagi-lagi aku diperlakukan bagaikan pembantunya saja.
Dengan enggan, aku menyapu seluruh ruangan itu seraya membersihkan sarang laba-laba yang banyak bertebaran di ruangan itu, sementara Alex memindahkan barang-barang yang ditimbun disana untuk kemudian dibuang. Tidak jarang aku menemukan bangkai tikus, ular, atau hewan sebagainya di sudut-sudut ruangan. Ingin muntah rasanya.
Hei! Aku menemukan sebuah boneka kayu teronggok di kolong meja yang diletakkan di salah satu sudut kamar itu. Boneka kayu itu berwujud anak laki-laki yang mengenakan setelan pesta, yaitu kemeja putih dan jas hitam, dengan dasi pita melingkar di kerah kemejanya. Kuperkirakan, boneka ini pasti sudah lama sekali ditinggal oleh pemilik rumah ini sebelumnya. Kupungut boneka itu dan kuperhatikan bagian telapak kaki dari boneka itu, tertulis sebuah nama disana. ‘Jannu’
“Ada apa?” Tak kusadari, Alex ternyata menghampiriku dari belakang.
“Oh... nggak apa-apa. Ini, aku menemukan sebuah boneka.” Aku menunjukkan boneka itu padanya. Seperti biasa, ketika melihat boneka, matanya langsung berbinar-binar, bagaikan elang yang sedang melihat mangsanya. Ia merebut boneka kayu itu dari genggamanku.
“Yang ini biar Kakak saja yang simpan! Lumayan, bisa jadi bahan eksperimen.” Ucapnya senang. Aku segera merebutnya kembali.
“Enak saja! Gila kamu! Boneka ini aku yang menemukan. Aku yang akan simpan boneka ini!” Ucapku ketus pada Alex. Ia hanya menatapku sinis dan kembali melanjutkan pekerjaannya memindahkan barang-barang. Memang benar-benar kakak yang aneh.
Akhirnya acara bersih-bersih berakhir sudah. Aku kembali naik ke kamarku dan merebahkan diri di kasur yang empuk. Sungguh nyaman sekali rumah ini. Apalagi rumah ini cukup besar, tidak seperti rumahku yang lama. Kamar Alex berada jauh sekali dari kamarku dan ia juga telah mempunyai ruang eksperimen sendiri, jadi setiap malam aku tidak perlu terganggu oleh suara-suara dan efek samping dari eksperimen-eksperimen gilanya.
Kembali kuperhatikan boneka kayu itu. Boneka aneh. Yep! Boneka ini menyimpan sebuah aura tersendiri bagiku, bagaikan menyerapku untuk masuk ke dunianya. Entahlah... mungkin seperti itulah yang kurasakan saat ini. Tapi, sepertinya ini adalah sebuah boneka mahal, mengapa pemiliknya membuangnya? Ah, masa bodoh dengan hal itu!
===
                Alarm di ponselku berbunyi dengan nyaring sekali, membuatku terjaga dari mimpi-mimpi indahku. Hmm... sudah pagi. Aku bangkit dari ranjangku dan menggeliat mengendurkan otot-otoku. Kuperhatikan kembali jendela kamarku. Pantai di pagi hari ternyata memang indah sekali.
                Aku turun dari ranjangku, bermaksud untuk keluar dari kamar, dan... BRUKK. Apa ini? Mengapa aku terjatuh? Tunggu... kaki ini bukan milikku. Tangan ini juga bukan tanganku. Entah mengapa, rasanya sulit sekali aku bergerak. Aku meraba kakiku, juga tangan, serta wajahku. Terasa kasar semua. Ada apa ini?
                Aku bangkit dan mencoba berjalan ke arah sebuah cermin yang terpasang di kamarku. Meski dengan langkah yang terseok-seok, aku mencoba untuk berjalan ke arah cermin itu. Aku pun berdiri di hadapan cermin. Tunggu ada yang aneh. Aku tidak bisa melihat diriku sendiri di cermin, cermin itu terlalu tinggi bagiku, tak seperti biasanya. Dan... ah! Kamarku jadi terlihat besar sekali!
                Susah payah aku menarik-narik sebuah kursi ke hadapan cermin itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa duduk di kursi sangatlah susah. Aku harus sedikit memanjat. Dan ketika aku telah berdiri di atas kursi itu... astaga! Bayangan di dalam cermin itu bukanlah aku! Itu adalah sosok boneka kayu yang kutemukan di kamar belakang.
                Tidak mungkin. Ini tidak mungkin!
                Aku berlari keluar kamar, meski rasanya berat sekali menggerakkan otot-otot di tubuhku. Ah iya, boneka kayu tidak memiliki otot. Itulah sebabnya sangat sulit bagiku untuk menggerakkan tubuhku.
                Ketika aku tiba di ruang bawah, tak ada siapa-siapa disana. Ruang makan, dapur, ruang keluarga, dan ruang tamu seluruhnya sunyi senyap. Aku pun masuk ke dalam kamar orang tuaku. Tak ada siapapun disana. Alex pun tak ada di kamarnya maupun di ruang eksperimennya. Ini mustahil.
                Aku berlari keluar. Anehnya, jalanan terlihat sangat ramai, berbeda sekali dengan keadaan rumahku. Orang-orang terlihat saling berdesakan, sementara mobil-mobil saling membunyikan klaksonnya karena kemacetan yang tak dapat terhindari lagi. Bagaikan zombie, aku berjalan dengan linglung. Sesekali tubuhku terjerembab jatuh dan ditendang oleh orang-orang yang tengah berlalu lalang. Untungnya, saat itu tak ada yang menyadari keberadaanku. Jika orang-orang itu melihatku, pastilah mereka akan menjerit histeris. Bayangkan saja jika sebuah boneka kayu dapat berjalan dan berbicara di antara kalian.
                Hup! Aku merasa seseorang mengangkat tubuhku secara tiba-tiba dari belakang. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita tua berkacamata tengah menggenggamku. Rambutnya telah memutih seluruhnya. Senyumnya menyeringai. Ia menatapku dengan tatapan yang entah dapat diartikan seperti apa. Yang jelas, wanita tua ini tampak tidak bersahabat.
                “Oh, aku menemukanmu kembali anakku!” Serunya gembira.
                “Hei, tunggu dulu! Aku bukan anakmu!” Tukasku.
                “Oh, kamu sudah jadi durhaka sekarang. Ingat, semua ciptaanku akan kembali padaku.” Sahutnya tegas. Hei! Memangnya dia Tuhan, beraninya berkata seperti itu. Aku yakin, wanita tua ini pasti sama gilanya dengan Alex.
                Wanita tua yang tak kuketahui namanya itu membawaku ke sebuah toko boneka besar yang dipenuhi hiasan renda dan pita. Sebuah toko boneka unik dengan ornamen dan suasana lolita, membuat siapapun anak perempuan tertarik datang ke tempat ini. Kemudian ia menempatkanku pada sebah kotak kaca yang terletak pada etalase tokonya, bersanding dengan beberapa boneka lainnya.
===
                Aku hanya dapat menatap pasrah pada para pejalan kaki yang melewati toko boneka ini. Ingin rasanya aku bergerak, melambaikan tangan pada mereka, dan mengeluarkan suara meminta tolong. Namun apa daya, sebuah kekuatan besar yang entah asalnya dari mana seperti mengunciku. Hanya kedua bola mataku yang dapat bergerak-gerak liar memandang sekeliling.
                Jam tutup toko akhirnya tiba juga, dan kekuatan yang membelengguku terasa menghilang. Aku dapat menggerakkan kaki dan tanganku secara bebas, juga dapat mengeluarkan suara.
                “Hei, anak baru! Siapa namamu.” Terdengar suara seorang gadis cilik. Aku menoleh, di samping kiriku dua buah boneka anak perempuan tengah tersenyum padaku. Boneka yang satu mengenakan terusan berwarna putih, dengan pita ungu yang menghiasi kerahnya. Sementara, boneka yang satu lagi mengenakan terusan berwarna merah jambu dengan motif bunga. Aku membalas senyum mereka.
                “Aku Alfred.” Jawabku pelan.
                “Oh, Alfred. Perkenalkan, namaku Momo dan temanku yang ini adalah Ling.” Ucap boneka dengan terusan berwarna putih seraya menunjuk boneka yang satunya lagi. Aku sedikit membungkukkan tubuh, memberi hormat pada kedua boneka itu. Yah, meski rasanya ini sangat aneh bagiku, memberi hormat pada boneka yang bahkan tak pernah kulirik sebelumnya.
                “Anak-anak, hari ini sudah cukup! Kalian bisa istirahat.” Seru wanita tua itu. Sial, aku seperti berada di tempat penitipan anak saja. Aku mencoba memanjat keluar dari kotak kaca itu. Belum juga aku berhasil keluar, lagi-lagi wanita tua itu mengangkat tubuhku, lalu memperhatikanku secara seksama.
                “Dulu kamu nggak bisa bergerak, apalagi mengeluarkan suara. Aku frustasi, karena ini untuk pertama kalinya ciptaanku gagal. Tapi, sejak pemilikmu yang bernama Jannu itu kubunuh dan kupersembahkan untuk ritual hitam, kamu menghilang. Akhirnya, kamu kembali padaku.” Desis wanita tua itu pelan dengan senyum yang menyeringai. Oh tidak... nyawaku terjebak dalam tubuh boneka yang diciptakan oleh seorang nenek sihir gila yang mungkin saja merangkap sebagai psikopat.
                “Dasar Nenek Sihir gila!” Gumamku. Sepertinya wanita tua itu dapat mendengarku. Ia murka. Matanya secara tiba-tiba berubah menjadi berwarna merah, semerah darah. Kulitnya sedikit demi sedikit mengelupas. Sial, sepertinya aku melakukan kesalahan.
                Ia menjatuhkanku, lalu melangkah mundur perlahan-lahan. Dapat kulihat tubuhnya perlahan-lahan mulai berubah menjadi monster mengerikan dengan taring, cakar dan rambut yang dibelit oleh ular-ular kecil. Aku bergidik ngeri dan melangkah mundur ke belakang. Tak kusadari, Momo dan Ling menahanku dengan tangan-tangan mungil mereka. Mereka bukanlah Momo dan Ling yang baru saja kukenal. Wajah mereka yang terbuat dari kain dipenuhi dengan sayatan. Senyum mereka menyeringai.
                Wanita tua itu kembali mencengkeramku. Aku memberontak, berusaha melepaskan diri darinya. Namun apa daya, kekuatan besar itu kembali membelengguku. Aku tak sanggup bergerak, apalagi mengeluarkan suara. Oh, sial... habislah aku.
                KREEKK. Tiba-tiba terdengar pintu toko terbuka. Seorang pemuda masuk ke dalam toko boneka. Sepertinya aku mengenal wajah pemuda ini. Ah, benar juga! Ia adalah Alex, kakakku. Untuk apa dia datang kemari? Bukankah toko boneka ini telah tutup?
                Wanita tua itu telah kembali ke wujudnya semula, dan kekuatan yang mengikatku itu juga  telah menghilang. Huh, wanita tua yang mengerikan, dunia yang mengerikan.
                “Hai, aku butuh sebuah boneka.” Ucap Alex. Aku melirik padanya, tidak berani bergerak. Momo dan Ling juga hanya terdiam di tempatnya. Yang benar saja, Alex pasti akan pingsan melihat boneka dapat bergerak sendiri.
                Wanita tua itu memutar bola matanya, terlihat kesal dengan Alex. “Ini sudah masuk jam tutup toko.”
                “Tolonglah...” Tampak Alex memohon pada wanita tua itu. Ia menunjukkan akting yang selama ini dipelajarinya ketika ia masih menjadi anggota klub teater di sekolahnya. Entah bagaimana caranya, Alex mulai mengeluarkan air mata dihadapan wanita tua itu. Oh, sudah jelas tidak ada yang dapat membantah bahwa kakakku yang satu ini sangat piawai bersandiwara.
                “Oh, baiklah! Pilih yang anda suka!” Sepertinya wanita tua itu mulai luluh karena akting Alex. Kini Alex mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, memperhatikan detail setiap boneka yang terpajang di toko itu. Aku harap ia akan memilihku, lalu menyelamatkanku dari kegilaan ini.
                Benar saja, pandangan mata Alex berhenti padaku. Ia tersenyum simpul lalu mengangkat tubuhku.
                “Aku mau yang ini!” Seru Alex dengan mantap. Wanita tua itu terbelalak, begitu juga dengan Momo dan Ling. Yeah! Akhirnya aku dapat lepas dari jeratan wanita tua gila itu.
Wanita tua itu tampak tak rela melepaskanku. Ia berusaha membujuk Alex agar tidak memilihku. Namun sayangnya wanita tua ini tidak tahu bahwa Alex adalah anak yang keras kepala. Tentu saja, dia mempertahanku hingga wanita tua itu menyerah.
“Yang itu harganya mahal.” Sergah wanita tua itu.
“Berapapun harganya akan kubayar! Boneka ini keren sekali.” Sahut Alex seraya tersenyum. Wanita tua itu hanya menghela nafas dan mau tak mau ia harus menyerahkanku pada Alex. Alex tampak bahagia sekali, entah mengapa.
===
Alex membawaku ke rumah, tentu saja rumah kami. Dan, tanpa basa-basi lagi ia membawaku masuk ke ruang eksperimennya. Oh gila, apa mungkin ia akan menggunakanku sebagai obyek eksperimennya? Jika begitu, aku sama saja keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut singa.
“Hei, hentikan!” Selaku. Alex terperangah melihatku dapat berbicara. Ia menghantamkan tubuhku ke sebuah meja,sepertinya ia sedikit takut. Oh sial, ini sakit sekali. Meski saat ini aku sedang terjebak dalam tubuh boneka kayu, tapi rasa sakit yang diakibatkan sama seperti ketika aku berada di tubuhku sendiri.
“Kamu bisa bicara? Boneka bisa bicara?” Tanyanya tak percaya. Aku mengangguk, dan sebisa mungkin menghalangi kegiatan Alex terhadapku.
“Kami juga punya hati dan perasaan, jadi jangan sakiti kami.” Ucapku. Namun, sepertinya Alex tak mendengarku. Ia malah mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dengan mata yang berbinar-binar.
“Oh! Aku mendapatkan boneka paling hebat di dunia! Gila, mimpi apa aku semalam?” Serunya dengan suara yang terdengar sangat bangga. Harusnya aku yang berbicara seperti itu bukan? Mimpi aku semalam hingga aku bisa terperangkap di tubuh sebuah boneka kayu?
Bukannya berhenti, dia malah terlihat lebih semangat. Ia berlari seraya membawaku ke ruang eksperimennya. Sial, matilah aku.
Ia meletakkanku di sebuah meja aneh yang penuh dengan barang-barang dan cairan-cairan dalam botol yang aneh pula, sebut saja meja operasi. Ia mengikat kaki dan tanganku dengan sebuah tali yang tersambung dengan meja langsung dengan posisi terlentang. Sementara, ia sendiri menyiapkan bahan-bahan, entah apa itu.
Ia kembali lagi padaku dan membawa sebuah pisau lipat dan beberapa botol berisi cairan berwarna aneh. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukannya setelah ini.
“Hentikan! Hentikan! Aku adalah Alfred, adikmu! Masa kamu mau membunuh adikmu sendiri, ha?” Sergahku. Ia tertawa.
“Mana mungkin kamu adalah Alfred. Adikku itu sudah mati, lama sekali! Lagipula aku nggak pernah memiliki adik kandung bernama Alfred. Alfred yang itu hanyalah anak bawaan Ayah tiriku.” Ucapnya dengan nada tinggi. Aku tidak dapat mempercayai ini semua. Jelas-jelas aku masih hidup. Bahkan kemarin malam aku membantunya membersihkan ruang eksperimen ini. Lagipula, bukankah kami adalah saudara kandung? Sepertinya aku terlempar ke sebuah dimensi lain.
CRAASSHH. Tiba-tiba ia memotong tangan kananku dengan pisau lipatnya. Demi tuhan, ini terasa sakit sekali, meski tak ada darah yang mengalir keluar. Aku mengerang kesakitan, namun Alex sepertinya belum ingin berhenti menyiksaku. Ia tertawa seraya memotong tangan kiriku.
“Bagaimana rasanya, boneka?” Tanyanya dengan sinis. Aku menatap ke dalam matanya yang berkilat-kilat. Sepintas, yang kulihat bukanlah Alex, namun wanita tua gila pemilik toko boneka itu. Sepertinya wanita tua itu telah merasuki pikiran Alex.
“Kumohon... hentikan.” Ucapku lemah. Tapi Alex malah tertawa dengan kerasnya. Ia menatapku dengan mata yang berkilat-kilat itu. Ia bukanlah Alex yang kukenal.
Ia mengangkat pisau lipatnya tinggi-tinggi, mengarahkan pisau lipat itu di atas dadaku. Aku memejamkan mata sebelum Alex akhirnya menghujamkan mata pisaunya yang tajam itu.
“AAHHH!!!” Aku terbangun dari tidurku. Kuperhatikan sekelilingku, ini adalah kamarku. Jadi semua itu hanyalah mimpi? Sungguh tak percaya rasanya. Aku bersyukur lega.
Namun, ketika aku akan turun dari tempat tidurku, entah mengapa, tiba-tiba aku terjatuh. Sulit sekali rasanya aku bergerak. Kuperhatikan tangan dan kakiku. Tidak mungkin, ini bukan tangan dan kakiku. Lalu aku menoleh ke arah tempat tidurku. Disana, terbaring tubuhku yang terlelap dengan tenangnya di tempat tidur. Jika tubuhku ada disana, lalu tubuh siapa yang kugunakan ini?
Tidak! Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!



TAMAT