Gadis
itu, setiap senja, selalu bermain sendiri di halaman depan rumahku. Bahkan, ia
dapat bermain hingga malam hari. Aneh sekali, kemana orang tuanya? Mengapa
mereka membiarkan putri kecilnya bermain sendiri di malam hari? Bukankah itu
berbahaya? Ketika aku menemui Boby untuk bermain sepak bola di taman, aku menemukan banyak gadis cilik
bermain disana. Namun aku tak menemukan si gadis kecil yang selalu bermain di
halaman rumahku itu.
Hari
ini, aku bermaksud untuk menghampiri gadis cilik itu. Mungkin saja ia tinggal
tidak jauh dari kompleks rumahku, sehingga aku dapat mengantarnya pulang. Dari
balik jendela kaca, aku menunggu kehadiran gadis cilik yang tak kutahu namanya
itu. Oh, mungkin nanti aku dapat menanyakan namanya.
Benar
saja, gadis itu muncul. Tanpa basa-basi lagi, aku segera menghambur keluar
menuju halaman depan rumah. Namun apa yang kudapat? Hanya lapangan kosong
dengan rerumputan yang digoyang oleh desiran angin yang cukup kuat. Aneh,
kemana gadis itu? Tidak mungkin ia dapat berlari keluar dari halamanku yang
luas dalam waktu setengah menit. Ya, aku memang seorang pelari hebat di kota
ini, tapi tak mungkin gadis itu dapat berlari lebih cepat dariku.
Esoknya,
gadis cilik itu muncul kembali. Ia melambai-lambaikan tangan padaku, seakan
mengajakku untuk bermain dengannya. Berarti, kemarin ia telah melihatku.
Mungkin kemarin ia hanya bersembunyi di balik semak-semak untuk menggodaku.
Aku
segera turun dan kali ini aku menemui gadis itu. Ya, kini ia benar-benar
berdiri di hadapanku. Kedua tangannya ia lipat ke belakang, dengan kepala
tertunduk dan kaki sebelah kanannya yang menggesek-gesek tanah di bawahnya.
“Siapa
namamu?” Tanyaku.
Gadis
itu mengangkat wajahnya dan tersenyum simpul padaku. “Namaku... Aku adalah
Emily!” Gadis cilik itu menjawab dengan riangnya. Tapi aku tak dapat
menghilangkan perasaan aneh ketika pertama kali bertemu gadis cilik itu. Ya,
gadis itu terlalu aneh.
“Berapa
umurmu? Kenapa kau bermain disini sendirian? Dimana orang tuamu?”
“Kakak
terlalu cerewet, masa aku tidak boleh bermain disini?” Ia mengerucutkan
bibirnya, terlihat kesal pada sikapku.
“Bukan...
bukan tidak boleh, Emily, tapi ini sudah senja. Sebentar lagi malam akan
datang...”
“Lalu?”
“Kau
harus segera pulang, seorang gadis cilik bermain sendirian di malam hari sangat
berbahaya. Kakak akan mengantarmu.”
Oh,
kali ini Emily benar-benar merasa kesal padaku. Ia menghentakkan kakinya ke
tanah. “Tidak perlu! Aku akan pulang sendiri!” Ia kemudian berlari keluar dari
halaman rumahku. Aku segera mengejarnya, sempat kulihat punggungnya sebelum ia
menghilang di belokan dekat toko loak.
===
“Apa
selama kita tinggal disini, ibu tahu sebuah keluarga yang tidak merawat
putrinya dengan baik sehingga mereka tak peduli jika putrinya bermain sendirian
di malam hari?” Tanyaku sambil mencomot sebuah kue dari meja makan.
“Setahu
ibu, tidak ada yang seperti itu. Nyonya Anna yang memiliki seorang putri
berumur 9 tahun juga tak pernah membiarkan putrinya bermain sendirian pada
malam hari.”
“Siapa
nama putrinya?”
“Clara..
Clara Paulline.” Jawab ibuku. Sepertinya ibu merasa aneh dengan pertanyan yang
kuajukan padanya. Ia menatapku dengan mimik serius, seakan berkata
untuk-apa-menanyakan-hal-yang-tidak-penting-pada-ibu-yang-sedang-sibuk.
“David!
David!” Tiba-tiba, pintu depan diketuk oleh seseorang yang secara tak sopan
berteriak memanggil namaku. Pastilah itu Boby. Kulihat ibuku memukul-mukul
kepalanya dengan sangat kesal, dan dengan tatapan mengintimidasi memaksaku
untuk segera enyah membawa si pengganggu, Boby, sejauh mungkin.
“Hei!
Besok pertandingan dimulai! Hari ini SMA kita harus berlatih sampai malam.”
Ucap Boby beberapa saat setelah kubuka pintu. Aku terbelalak. Oh, aku yakin
besok kakiku tidak dapat digerakkan akibat latihan hari ini.
Di
tengah perjalanan menuju taman, tanpa sengaja aku menangkap sosok Emily yang
sedang berjalan sendiri dengan kepala tertunduk. Kali ini, gadis cilik itu
membawa boneka beruang berwarna coklat yang cukup besar.
“Kau
duluan saja, aku ada urusan sebentar. Aku akan segera menyusul!” Aku
meninggalkan Boby yang heran melihat sikapku. Diam-diam, aku mengikuti kemana
Emily pergi. Aku terus membuntutinya hingga kami tiba di depan rumahku sendiri.
Benar juga, seharusnya aku tahu bahwa gadis itu akan bermain di halaman rumahku
lagi.
Aku menunggu
gadis itu bermain sendiri hingga merasa bosan. Kemudian, ketika ia memutuskan
untuk pulang, aku kembali mengekor di belakangnya. Tepat seperti dugaanku,
ketika tiba di belokan dekat toko loak, ia mengambil jalan ke kanan. Aku terus
mengikutinya hingga ia berhenti di hadapan sebuah bangunan besar di sudut
jalan. Ah, mungkinkah ini rumahnya? Keluarganya mungkin sebuah keluarga berada
yang terlalu sibuk bekerja sehingga menelantarkan putrinya.
“Oi! Kau
sedang apa disini?” Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh, dan
mendapati Boby tengah mendelik kepadaku. Bagaimana ia bisa tahu aku sedang
disini? Jangan-jangan, tanpa sepengetahuanku, ia juga sedang membuntutiku.
Ketika aku
menoleh kembali untuk melihat Emily, gadis itu telah menghilang. Ah, mungkin ia
sudah masuk ke dalam rumahnya. Kalau begitu, aku akan mencari tahu keluarga
yang menghuni rumah ini esok hari.
===
Setelah
pertandingan sepak bola berakhir, aku memutuskan untuk kembali pergi ke rumah
besar itu. Mungkin kali ini aku harus mengajak Boby, bagaimanapun juga ia tidak
suka aku menyembunyikan sesuatu darinya.
Entah mengapa
aku ingin menyelidiki tentang Emily. Tak ada yang spesial dari gadis cilik itu,
hanya saja aku melihat sesuatu yang berbeda dari sorot matanya ketika ia menatapku
waktu itu. Meski ia tersenyum dan tertawa dengan riangnya, kedua bola matanya
tak dapat menyembunyikan sebuah kejanggalan. Bila harus kesebut, sebuah gelagat
yang tak biasa.
“Oh! Luar
biasa! SMA kita memenangkan pertandingan ini!” Sam, kapten tim kami,
berjingkrak-jingkrak seusai pertandingan sepak bola. Ya, tim kami memengkan
pertandingan pada babak semifinal, itu berarti kami akan segera menyambut
partai final.
“Boby, ada
yang ingin kubicarakan denganmu.” Ucapku secara diam-diam dan menarik Boby menjauh
dari kerumunan tim dan sorak sorai penonton.
“Oh, ada apa
ini? Baru kali ini aku melihatmu serius, David.”
Aku menelan ludah
dan mulai bercerita pada Boby. “Sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa penasaran
pada seorang gadis cilik yang sering bermain di halaman rumahku. Gadis itu,
bagaimana aku mengatakannya... emm... gadis itu menurutku sangat aneh....”
“Aneh? Apa
yang aneh?” Aku segera menceritakan pada Boby bahwa gadis itu selalu bermain
sendiri di senja hari dan bagaimana aku bertemu dengan gadis cilik itu pertama
kali.
“Kalau begitu,
kita memang harus segera menyelidikinya.” Seru Boby dengan semangat.
===
Aku
menunjukkan bangunan besar di sudut belokan itu pada Boby. Seketika, ia
terkejut dan dengan mimik tak percaya ia mencengkeram tanganku.
“Apa kau
berpikir seorang gadis cilik akan tinggal di panti jompo yang akan segera
dirobohkan?” Tanya Boby seraya menunjuk bangunan besar itu. Aku terbelalak,
sama terkejutnya dengan Boby. Kami segera masuk ke dalam dan mencari informasi
tentang keberadaan Emily, namun tak ada tanda bahwa Emily pernah tinggal
disana. Bahkan resepsionis pun tak memiliki data tentang gadis cilik bernama
Emily.
“Mungkin Emily
itu sejenis makhluk astral?” Ucap Boby ketika kami duduk di sofa di ruang
tunggu panti jompo itu.
“Jangan sok
tahu!” Aku menjitak kepala Boby, dan ia hanya meringis seraya memegangi
kepalanya.
“Emily? Kalian
bilang Emily?” Seorang pria, yang kuyakini adalah salah satu perawat di
panti jompo itu, menatap kami dengan
tatapan tak percaya.
“Yang kami
maksud adalah seorang gadis cilik bernama Emily, berambut kecoklatan sebahu
dengan bola mata berwarna kecoklatan pula. Apa anda mengenalnya?”
“Ya... Emily
adalah gadis yang pernah saya sukai, secara sepihak.”
Mata Boby
menyipit, ia menatap pria itu lekat.
“Anda... menyukai
gadis cilik?” Tanya Boby penasaran. Ah, benar juga, mana mungkin pria berusia
tiga puluhan tahun ini menyukai seorang gadis cilik berusia sekitar sembilan
tahun? Pasti saat ini Boby berpikir bahwa pemuda yang berada dihadapannya itu
adalah seorang pedhopill.
“Maksud saya,
itu 20 tahun lalu. Ketika saya masih seumuran dengan Emily.” Jawabnya dengan
suara tergetar. Oh, kini aku semakin tak mengerti. Dua puluh tahun lalu,
seharusnya Emily belum dilahirkan bukan?
“Anda
tidak perlu bercanda dengan kami!” Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut,
Boby telah lebih dulu mengambil ancang-ancang dan membentak si pria.
“Saya
sungguh tidak bohong. Emily adalah sahabat saya semasa kecil.” Air mata mulai mebasahi
pipi pria itu. Ia menggigit punggung tangannya sebelum mulai melanjutkan
cerita. “Kami teman sangat dekat, mungkin seperti kalian ini. Kami selalu
bermain bersama. Panti jompo ini, dulunya adalah rumah milik keluarga Emily,
sebelum peristiwa itu mengubah semuanya...”
“Peristiwa
apa?” Tanyaku penasaran.
“Waktu
itu, sebuah kebakaran hebat terjadi dan menghanguskan rumah Emily hingga
benar-benar hangus tak bersisa. Ketika itu, kedua orang tuanya sedang bekerja
dan mereka meninggalkan Emily sendiri di rumahnya. Ia tak terselamatkan.
Padahal, beberapa menit sebelum kebakaran itu terjadi, saya sempat menemui
Emily, mengajaknya bermain di taman,” pria itu menunduk seraya terisak, dan
melanjutkan. “Lalu kedua orang tuanya merasa sangat bersalah dan memutuskan
untuk pindah ke kota lain. Mereka menyumbangkan tanahnya kepada pemerintah.”
“David...”
Boby kembali mencengkeram tanganku. “Benar kan apa yang aku katakan? Emily itu
adalah makhluk astral. Jadi, yang selama ini kau lihat dan kau buntuti
adalah... hantu...”
“A-apa?
Kalian melihatnya? Jangan bercanda! Emily telah meninggal 20 tahun lalu!”
Aku
menelan ludah dan mengangguk cepat. Seakan waktu terhenti, sepanjang
pembicaraan ini, tak ada satupun manusia yang berlalu lalang di hadapan kami.
Ya, hanya ada kami bertiga saat itu.
“Ngomong-ngomong,
siapa nama anda?” Tanyaku.
Pria
itu mendongakkan wajahnya, berusaha menatap kami. Ia menyeka air matanya. Kemudian
ia tersenyum simpul, senyum yang sama seperti senyum milik Emily. “Saya adalah
Josh... Josh Williams.”
===
“Ini
mustahil David! Lihatlah ini!” Boby menunjukkan artikel pada sebuah surat kabar
yang baru saja terbit. Kubaca judul yang terpampang dengan sangat jelas disana,
“Seorang pembunuh dieksekusi mati minggu lalu.”
“Ada
apa dengan itu?” Aku menuangkan teh hangat dari sebuah poci perak ke cangkir
teh milikku dan milik Boby. Aku menyesap tehku perlahan, seraya memperhatikan
Boby yang sedang berkacak pinggang melihatku kesal. Aku tertawa.
“Jangan
tertawa!” Ia melemparkan surat kabar itu padaku. “Baca itu! Kau tak akan bisa
tertawa lagi.”
Aku
membaca artikel itu secara seksama. Betapa terkejutnya aku ketika melihat foto
yang terpampang disana. “Josh Williams, seorang pembunuh yang telah memakan
puluhan korban dieksekusi mati minggu lalu.” Aku menelan ludah, menatap Boby
tak percaya. Ia hanya menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya.
“Apa
kau masih bisa tertawa, eh?” Kini ia yang tertawa.
“Bukankah
baru kemarin kita berbincang dengan Josh Williams itu? Berarti... yang kita
ajak bicara kemarin adalah... hantu?” Saat ini, aku benar-benar merasa
ketakutan. Aku berjalan perlahan menuju jendela kaca kamarku, sehingga aku
dapat melihat pemandangan halaman rumahku dengan jelas. Setidaknya, dengan
begitu, aku dapat menenangkan diriku sedikit.
“David,
jika benar begitu, apa mungkin semua yang dikatakan hantu Josh Williams waktu itu adalah kebohongan?” Tanya Boby. Ia mendekat
dan merangkul bahuku.
“Tapi,
jika itu semua bohong... lalu siapa sebenarnya gadis cilik yang berdiri disana itu?
Dan mengapa setiap petang ia bermain di halaman rumahku?” Aku menunjuk sesosok
gadis cilik yang berdiri di halaman depan rumahku. Masih dengan pakaian yang
sama, terusan berwarna hijau dan rok berlipit putih. Ia menatap kami dengan
senyum yang menyeringai dan wajah yang jauh lebih pucat dari biasanya.
TAMAT




